Istilah yang satu ini kian marak
dibicarakan oleh berbagai kalangan masyarakat terutama mereka yang
berkecimpung dalam dunia properti. Istilah itu adalah bubble.
Menurut Anton Sitorus, Head of Research Jones
Lang LaSalle terminologi bubble properti mengacu pada sebuah keadaan
adanya kenaikan harga properti yang sangat signifikan hingga akhirnya
melebihi pertumbuhan harga-harga elemen yang lain dalam ekonomi. “Pada
akhirnya berujung pada penurunan harga yang secara siginifikan juga,”
jelasnya di Jakarta (17/7).
Jadi bubble properti itu kenaikan harga
properti yang sangat tajam. “Atau bisa dikatakan kenaikan itu tidak
masuk akal hingga pada suatu level tidak bisa bergerak lagi dan akhirnya
terjadi penurunan harga,” ungkap Anton.
Sebenarnya dalam membicarakan bubble properti ada dua aspek. Pertama,
pertumbuhan harga. Sesuai dengan definisi bubble yang terjadi kenaikan
harga yang sangat tajam. Kedua, Hutang. “Saat ini rasio kredit properti
masih sangat rendah hingga akhir tahun sekitar 13,6 %. Tahun 1995,
sekitar 20% dan 1997 mencapai 17%. Jadi bisa dikatakan masih relatif
aman terhadap bubble,” kata Anton.
Sementara rasio kredit properti terhadap
PDB Nasional sangat kecil sekitar 4,5% di 2012. Dibandingkan 1997
mencapai 11%. “Bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia
sekitar 31%, Singapore 36%, Hong Kong 42% dan US mencapai 22%,” ungkap
Anton.
Todd Lauchlan, Country Head Jones Lang LaSalle Indonesia melihat aspek tersebut, pasar properti di Indonesia masih relatif aman dari dampak kemungkinan crash
atau bubble. “Bahkan Indonesia memiliki perkembangan positif di
berbagai sektor properti di Indonesia dalam beberapa tahun belakangan
ini masih akan terus berlanjut dalam tahun-tahun mendatang, didukung
oleh fundamental perekonomian dan pertumbuhan bisnis dan industri dalam
negeri yang semakin solid,” jelasnya.
Haryanto
Foto: Haryanto
rumah123.com
ATM Property http://adf.ly/PYeqK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar