Rabu, 09 April 2014

Bijak Memilih Konsep Bisnis - agen property

Agen Properti


propertykita.com

TONY EDDY adalah sedikit sosok agen properti profesional yang tidak melulu berburu komisi. Pria kelahiran Pagaralam Palembang ini bahkan seringkali sangat idealis dengan konsep-konsep pemasaran baku bahkan tak jarang menolak memasarkan proyek yang dinilainya tak layak. Untuk berbagi pengetahuan tentang broker/agen properti profesional, mulai edisi ini beliau mengisi rubrik Q&A seputar broker kepada pembaca. Tema kali ini sengaja kami angkat seputar sistem MLM dalam bisnis properti.
Akhir-akhir ini di industri agen properti tengah mengalami euphoria bisnis model properti agent baru yang banyak disebut mirip dengan sistem MLM. Sebenarnya konsep bisnis seperti apa itu?

Ini sebenarnya merupakan respons dari masalah klasik yang umumnya terjadi di bisnis agen properti, yaitu keluarnya para agen senior untuk membentuk kantor sendiri karena ingin lebih maju. Hal ini dikarenakan model atau konsep bisnis agen properti yang lama tidak mampu mengayomi para agen yang produktif agar tetap bertahan dan berkembang bersama di perusahaan yang sama, apalagi jika sang agen pindah ke luar kota, atau luar negeri.
Alhasil, lahirlah model bisnis baru yang bisa memberikan kesempatan agar seluruh staff serta agen propertinya tidak usah keluar agar bisa lebih maju. Ada pola perekrutan dan manajemen yang sedikit mirip pola perekrutan di bisnis asuransi atau MLM, dimana para agen dapat mensponsori teman atau agen lain untuk bergabung ke kantor mereka dan akan mendapatkan skema imbal jasa mulai dari insentif rekrutment, sampai pada pendapatan passive income yang menarik.
Di tanah air ternyata model bisnis seperti ini sudah ada yang mencoba mengikuti dengan skema insentif beragam. Bahkan, di antara mereka berani menjanjikan passive income yang dapat diwariskan ke anak cucu para agen properti tersebut, meskipun umur perusahaan pemberi janji belum juga genap setahun. Selain itu, euphoria itu juga tak terlepas dari kondisi pasar yang sudah jenuh dengan penerapan konsep bisnis agen properti konvensional - yang sudah ada sejak tahun 1960an.
Apa saja faktor utama yang sebenarnya menjadi penentu sukses gagalnya konsep bisnis baru ini?
Agen properti adalah bisnis jasa yang intangible, bukan bisnis produk yang tangible. Karena itu, kualitas pelayanannya bukan ditentukan oleh merk atau kekuatan pemilik master franchise tetapi sangat tergantung pada kualitas pribadi sang agen properti yang bersangkutan.
Agar lebih meyakinkan hal itu, maka kita bisa menganalisanya sendiri di pasar dengan coba menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: “Apakah kantor-kantor agen properti merk tertentu itu seluruhnya baik atau jelek?”.  “Apakah agen-agen properti yang terafiliasi pada pebisnis group tertentu semuanya baik atau jelek?”
Jawabannya kedua pertanyaan itu tentu tidak.
Sebab, pada akhirnya, baik buruknya sebuah pelayanan sangat bergantung pada kualitas dan komitment si pemilik kantor agen properti dan juga kualitas para agennya.
Nah, jika kita setuju bahwa kualitas para agenlah yang sangat menentukan baik buruknya bisnis agen properti ini, maka pengembangan kualitas para agen merupakan hal yang paling krusial pada bisnis jasa agen properti.
Resiko apa saja yang bisa terjadi kepada para agen jika perusahaan agen properti dengan konsep ini gagal atau salah urus?
Jika konsep bisnis ini dijalankan tanpa persiapan yang matang dengan infrastruktur IT yang kuat, baik hardware, software, dan staf programmer-nya, maka seluruh data serta sistem pembayaran dana sponsorisasi dari ratusan atau ribuan agen akan bubar. Bayangkan, jika ada 7 level sponsor dan bila masing-masing level terdapat 6 agen saja, maka sekitar 100 ribu agen yang berada di bawah satu agen.
Bila masing-masing agen punya rata-rata listing 10 unit, maka satu agen akan membutuhkan minimum 1 juta record. Sehingga untuk 100 ribu agen akan dibutuhkan database miliar an  record. Belum termasuk database klien dan lain-lainnya. Resiko lain adalah jika staff programmer nya pindah kerja atau dibajak perusahaan pesaing.
Selain infrastruktur IT yang kuat, isi kurikulum training para agen juga harus berbobot. Jika tidak, maka percuma saja ada ratusan atau puluhan ribu agen tapi semuanya tak dididik untuk produktif dan punya integritas. Itu akan jadi bumerang, dan bila terjadi kesalahan maka pemilik franchise-nya bisa dituntut oleh ribuan agennya sendiri.

Sumber Berita: www.swarakalibata.com


http://indexproperty.webs.com/